Palangkaraya (ANTARA News) - Kepala Badan Restorasi Gambut Nazir Foead
menegaskan restorasi gambut di area konsesi perusahaan harus berjalan
jika tidak ingin kebakaran terjadi lagi.
"Ya pilihannya tinggal direstorasi atau tidak. Kalau ingin terbakar
lagi ya tidak direstorasi," kata Nazir di sela-sela kunjungan kerja ke
Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah di Palangkaraya, Kamis.
Sebelumnya BRG mengeluarkan surat penugasan restorasi untuk 25
perusahaan pemegang izin konsesi yang ada dalam peta indikatif restorasi
gambut.
Nazir mengatakan akan menunggu revisi dokumen rencana kerja usaha
(RKU) perusahaan tersebut selesai, setelahnya restorasi di area konsesi
berjalan dengan arahan teknis dari BRG.
Menurut dia, koordinasi antara BRG, Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Pertanian dan perusahaan sejauh ini
telah dilakukan untuk memverifikasi luasan area konsesi perusahaan yang
harus direstorasi. Tim ahli BRG juga telah turun ke lapangan untuk
mengecek langsung kondisi area yang harus direstorasi.
Dalam keterangan tertulisnya Koalisi Antimafia Hutan yang terdiri
dari Eyes on The Forest (EoF), AURIGA dan Jikalahari meminta agar
Presiden Joko Widodo untuk mengevaluasi kinerja Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan, khususnya dalam hal keterlibatan percepatan upaya
restorasi gambut dan penanganan kasus kebakaran hutan dan lahan gambut.
Dan koalisi mendesak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk
lebih kooperatif dan bekerja bersama BRG dan berbagai pihak lainnya
untuk percepatan restorasi ekosistem gambut, termasuk untuk melahirkan
terobosan hukum untuk medukung agenda restorasi gambut.
Koordinator Eyes on the Forest Afdhal Mahyuddin mengatakan agenda
restorasi gambut tersendat akibat keengganan perusahaan untuk
menjalankan penugasan dari BRG. Ironisnya, keengganan ini justru
mendapat dukungan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
melalui pernyataan Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari
Ida Bagus Putera Parthama dalam salah satu koran nasional yang
mengatakan badan khusus yang di bentuk Presiden ini tidak memiliki
kapasitas untuk memberikan surat penugasan kepada perusahaan.
KLHK, lanjutnya, berdalih di balik adanya kebijakan di bidang tata
usaha kehutanan, sehingga agenda restorasi bisa dilakukan setelah revisi
rencana kerja usaha perusahaan.
Pandangan tersebut tentu tidak salah apabila dalam kondisi normal.
Namun mengingat besarnya urgensi penanganan gambut ditambah ancaman
kebakaran yang mulai mengintai tahun 2017, sikap tersebut kemudian patut
dipertanyakan, ujar Afdhal.
Sebagai lembaga baru, BRG tentu memiliki kekurangan. Tetapi,
menurut dia, yang harus disadari oleh KLHK, agenda restorasi gambut
merupakan kebutuhan yang mendesak atau dalam kondisi luar biasa
(extraordinary conditions).
Apalagi, pekerjaan BRG saat ini merupakan imbas dari keterlanjuran
pemerintah khususnya KLHK yang memberi izin kepada Perusahaan Hutan
Tanaman Industri (HTI) di kawasan gambut dan gambut dalam. Lemahnya
peran pengawasan yang dilakukan terhadap pemegang izin pun turut menjadi
faktor.
Sikap jumawa KLHK, Afdhal mengatakan jauh dari semangat Presiden
Joko Widodo yang mengajak semua pihak untuk mencegah terjadinya
kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2017. Prediksi Badan Meteorologi
dan Geofisika (BMKG) menyebutkan curah hujan tahun 2017 lebih rendah
dibandingkan dengan tahun 2016 yang artinya potensi kebakaran hutan dan
lahan lebih tinggi dibanding tahun lalu.
Berdasarkan analisis pendahuluan oleh Eyes on the Forest,
disimpulkan bahwa Asia Pulp & Paper (APP) dan APRIL mengelola 38
persen dari total target area restorasi BRG atau mencapai satu juta
hektare. Guna melaksanakan target restorasi penuh Pemerintah, mereka
perlu merestorasi 1,1 juta hektare dan 0,6 juta hektare dari area
konservasi mereka masing-masing atau sekitar 40 persen dari total
konsesi mereka.
Kepala BRG: Restorasi Gambut Konsesi Harus Berjalan
Sabtu, 11 Februari 2017 7:29 WIB
Ya pilihannya tinggal direstorasi atau tidak. Kalau ingin terbakar lagi ya tidak direstorasi,"