Banjarmasin (Antaranews Kalsel)- Lembaga Kajian Keislaman & Kemasyarakatan (LK3) menemukan sejumlah catatan tentang kerukunan berada di Provinsi Kalimantan Selatan sepanjang tahun 2016 lalu.
Ada enam yang menjadi catatan dalam kerukunan beragama di Provinsi Kalimantan Selatan, seperti antara lain pelarangan pendirian tempat ibadah, masyarakat kian mudah terprovokasi isu agama, menguatnya ujaran kebencian antarumat beragama,demikian siaran pers LK3 yang disampaikan kepada ANTARA Kalsel, Senin.
Kemudian catatan lainnya semakin kompleksnya hubungan internal dan antaragama, masih ada politisasi isu agama dalam kebijakan, serta belum terakomodirnya agama lokal dalam kebijakan.
Catatan pertama pelarangan pendirian rumah ibadah, baik yang dilakukan oleh pemerintah daerah maupun oleh kelompok masyarakat masih terjadi.
Pelarangan ini seringkali tanpa alasan, sehingga tidak menemukan titik penyelesaiannya. Persoalan pelarangan pendirian rumah ibadah ini terjadi di sejumlah kabupaten, mulai dari Banjarmasin, Kabupaten Banjar, Tapin, Hulu Sungai Selatan, Balangan dan Kotabaru.
Pemerintah daerah juga seperti menghindar dari persoalan ini, bahkan dihinggapi ketakutan karena khawatir memberi dampak politik bagi jabatan dan posisi kepala daerah.
Semestinya peran pemerintah sebagai fasilitator yang mampu
mencarikan solusi ketika ada umat beragama memerlukan tempat ibadah. Fenomena
ini menggambarkan bahwa menyangkut pendirian rumah ibadah, toleransi
keberagamaan kita masih menjadi persoalan, dan pemerintah gamang dalam
bersikap
Catatan kedua masyarakat semakin mudah terprovokasi isu-isu
agama. Fenomena ¿konflik agama dan isu penistaan agama¿ yang terjadi di Medan,
Kalbar, Jakarta dan lain sebagainya, ternyata sangat berdampak di Kalimantan
Selatan. Menimbulkan menguatnya sentiment agama dan ras di tengah umat beragama.
Sekalipun belum mengarah pada konflik atau kekerasan. Namun fenomena ini telah
menimbulkan ketegangan dan berdampak pada hubungan antaragama dan ras.
Persoalan ketiga menguatnya ujaran kebencian antar umat beragama.
Berbagai berita yang tidak bertanggungjawab, berisi provokasi isu-isu agama,
Sering kali tidak sempat disaring dan terus disebarkan menjadi viral
yang mengganggu kerukunan beragama. Berisi berbagai ujaran kebencian
dan hujatan yang tersebar bukan hanya di media sosial, namun hingga di
mimbar-mimbar khotbah. Pernyataan kafir, musyrik, sesat, murtad dan sebagainya
disampaikan secara vulgar, penuh kebencian, tanpa mempertimbangkan dampak sosial
dan hubungan beragama di tengah masyarakat.
Keempat semakin kompleksnya hubungan internal dan antar agama. Keragaman internal dan antar agama semakin menjadi persoalan publik yang tidak jarang berujung pada diskriminasi.
Bukan saja hubungan antar agama yang rawan provokasi dan diliputi ujaran kebencian. Namun internal agama, juga semakin menegangkan.
Pada internal agama di hampir semua agama, nampaknya semakin menguat perbedaan yang menimbulkan perpecahan dan konflik. Pada internal agama, semakin tegas corak aliran beragama, yang melahirkan jarak dan rawan akan konflik.
Kenyataan ini menggambarkan bahwa telah terjadi perkembangan yang
semakin masif menyangkut penyebaran idiologi agama di tengah masyarakat, yang
harus disikapi secara serius oleh majelis-majelis agama, dalam rangka menjaga
umat agamanya masing-masing.
Persoalan lainnya, masih adanya politisasi
isu agama dalam kebijakan. Selain masih kuatnya sejumlah regulasi berdimensi
agama yang menghambat pencapaian Indeks Demokrasi Indonesia, dimana Kalimantan
Selatan terkendala pencapaian Indek Demokrasi, dikerenakan masih aktifnya 25
aturan tertulis yang membatasi kebebasan atau mengharuskan masyarakat untuk
menjalankan agamanya.
Juga masih kuatnya keinginan pemerintah dalam mempolitisasi isu agama, guna mengatur ketertiban sosial di tengah masyarakat. Sejumlah isu di tahun 2016 menggambarkan politisasi agama yang masih kuat, di antaranya isu pembentukan polisi syariah, pelarangan atribut natal, mahgrib mengaji, dan sebagainya yang menggambarkan bahwa pemerintah tidak netral dalam melihat dan menempatkan isu agama.
Persoalan teraklhir belum terakomodirnya agama lokal dalam kebijakan. Hingga akhir tahun 2016, berbagai persoalan yang menghambat eksistensi agama lokal, dalam hal ini Kaharingan, masih belum terakomodir dalam kebijakan.
Akhirnya, komunitas agama lokal menjadi obyek penyebaran agama lainnya, baik melalui penyebaran langsung maupun melalui pendidikan.
Tidak sedikit pemuda/pemudi yang menganut agama lokal terhambat dalam melanjutkan pendidikannya, hanya karena menganut agama lokal. Pun demikian dalam soal administrasi kependudukan, masih banyak yang belum memperoleh KTP dikarenakan beragama lokal dan pilihan agama tersebut tidak tersedia pada form KTP. Lanjutan dari persoalan tersebut mereka tidak akses pada pelayanan publik dan tidak mempunyai kekuatan dalam mempertahankan hak ulayatnya.
Demikianlah sejumlah catatan menyangkut kerukunan beragama di
Kalimantan Selatan. LK3 sendiri sebagai salah satu organisasi masyarakat sipil,
yang memilih pluralisme sebagai salah satu isu kerjanya, melakukan berbagai
upaya dalam rangka merawat kerukunan beragama di Kalimantan Selatan. ***4***