Amuntai, Kalsel, (Antaranews Kalsel) - Lemahnya administrasi dalam pembuatan dan penerapan Peraturan Desa (Perdes), dampaknya bisa memunculkan konflik di masyarakat, ujar Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD), Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, Dwi Hadi Saputra.
"BPMPD mengakui, masih lemahnya tertib administrasi dalam pembuatan dan pengesahan peraturan desa, sehingga banyak kebijakan pemerintahan desa saat diterapkan tidak diketahui oleh pemerintahan di tingkat kabupaten," kata Dwi Hadi Saputra, di Amuntai, Selasa.
Dia menambahkan, sebanyak 214 desa di Kabupaten Hulu Sungai Utara sudah memiliki Perdes, namun tidak satupun berkas arsipnya dimiliki BPMPD.
"Berdasarkan Undang-undang semestinya sebelum ditetapkan menjadi peraturan desa, rancangannya disampaikan dulu oleh camat kepada bupati jadi kita bisa memiliki arsipnya," ujarnya melalui siaran pers pemkab setempat.
Namun yang terjadi selama ini, katanya camat langsung menyerahkannya ke Sekretariat Daerah untuk diteruskan kepada bupati tanpa sepengetahuan atau pun ada tembusannya ke BPMPD.
Dia memaparkan, BPMPD memang bertugas memberikan bimbingan teknis dan sosialisasi pembuatan perdes di tingkat kecamatan yang diikuti para kepala desa (kades) dan anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPM).
Terbatasnya petugas BPMPD mengakibatkan instansi Pemda ini tidak bisa sepenuhnya bisa melakukan pendampingan bagi kades dan aparatnya dalam menyusun perdes.
"Dalam hal ini peran camat selaku pembina kewilayah dibutuhkan untuk selanjutnya memberikan bimbingan dan pembinaannya," kata Hadi.
Ia menyadari jika otonomi desa memberikan ruang yang cukup luas bagi aparat desa dalam menggali pendapatan bagi pembangunan di wilayahnya masing-masing.
Namun, lanjut dia, berbagai terobosan dalam menggali pendapatan desa ini harus dituangkan dalam bentuk perdes yang tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi seperti peraturan daerah (perda), peraturan pemerintah (PP) dan perundang-undangan lainnya.
Adanya pengaduaan masyarakat terkait pungutan oleh aparat desa terhadap sejumlah proyek bantuan pusat seperti yang terjadi di Desa Putat Atas Kecamatan Sungai Pandan belum lama merupakan bentuk kekeliruan dalam menerapkan perdes.
"Tugas aparat kecamatan dan kabupaten untuk meluruskan kekeliruan ini karena terkadang beban seorang kades juga dituntut untuk mampu membiayai berbagai kegiatan di desa sehingga perlu mendapat bantuan dan bimbingan," terangnya.
Aparat desa juga diminta bersikap terbuka dalam mengelola anggaran desa, di antara anggaran alokasi desa atau ADD yang seringkali disalahgunaan dan masyarakat sekarang sudah makin kritis dalam menyikapinya.
Munculnya persoalan di Desa Putat Atas itu, katanya lagi menjadi pembelajaran bagi pemda HSU, terlebih bagi BPMPD dan instansi terkait untuk melakukan pembenahan kedepan, apalagi pemerintah pusat tidak lama lagi akan menerapkan kebijakan pengalokasian anggaran Rp1 miliar per desa.
 "Tugas berat menanti pemda untuk mempersiapkan sumber daya aparat desa, kelembagaan, administrasi desa sehingga mereka mampu memanfaatkan anggaran satu milyar untuk membangun desa," katanya Â